Kata Syaakilah dan Makanat terdapat dalam Al Qur`an. Kata Syaakilah terdapat pada surat 17 al Isra ayat 84. Namun agar pemahaman tentang syaakilah lebih utuh maka perlu diperhatikan ayat 82 dan 83 yang menjadi pandahuluannya.
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. QS. 17 ayat 82
Ayat ini menegaskan bahwa bagi orang kafir Al Qur`an tidak berfungsi positif sebagai pedoman akhlaknya.
Kemudian pada ayat 83 Allah menyebutkan karakter manusia kafir yaitu:
- Menolak (tidak mau mengakui memfungsikan sebagaimana mustinya) semua yg sudah Allah berikan.
- Mudah putus asa kalau mengalami suatu problem yg buruk (kesusahan)
وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَىٰ بِجَانِبِهِ ۖ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa” (QS.17 ayat 83)
Nah mengacu pada manusia seperti ini Allah perintahkan Nabi Muhammad saw. agar mengatakan sebuah ajaran Islam dalam merespon nikmat dan menghadapi problem sebagai berikut :
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ *شَاكِلَتِهِ* فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut *keadaannya masing-masing*”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS.17 ayat 84)
Syaakilah secara bahasa (etimologis) berasal dari akar kata ش /sy/, ك /k/ dan ل /l/ yang juga membentuk kata ٌشَكْل /syakl/ yang bermakna bentuk ( _form_) dan wajah ( _face_ ).
Adapun syaakilah adalah bentuk _ism fa’il_ (nomina pelaku) yang mengacu pada syakl, sehingga bermakna yang bertindak atau melakukan sesuai berbagai form (bentuk) yang ada pada sipelaku yang kemudian dipadankan dalam bahaaa Indonesia sebagai keadaan diri, sedangkan dalam Bahasa Inggris dipadankan dengan configuration.
Nah, dalam konteks ayat sebelumnya maka kata syaakilah dapat dikonsepsikan sebagai potensi baik secara fisik (jasadiy) maupun mental (maknawiy). Inilah mengapa menurut saya dalam kata syakilah terkandung makna bakat sebagai potensi kekuatan (strength) dari perbuatan (fi’il) atau amal (kerja)
Dan jika diperhatikan (ditadabburi) kata كُلٌ /kullun/ yang bermakna “masing masing” atau “setiap” dan merujuk pada “insan” pada ayat 83 maka penisbatan kata syaakilah dengan “hi” sebagai kata ganti كُلٌ /kullun/ maka syaakilah dapat dipahami sebagai sesuatu rahmat dan nikmat yang “unik” yang sudah Allah anugrahkan untuk setiap manusia yang seharusnya disyukuri dan dapat digunakan untuk mengatasi problematika hidup yang dihadapi dengan mewujudkan secara enjoy dan easy. Sesuatu yang excellent dan bermanfaat bagi orang lain sehingga mendapatkan earn (bayaran).
Dan jika dikaitkan dengan ayat 85
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Maka dapat dipahami bahwa:
- Al Qur`an (pada ayat 82) dapat dipelajari / dikaji untuk menjadi pedoman akhlak.
- Syaakilah yang menjadi dasar amal produktif dapat dipelajari dan dikembangkan.
- Ar Ruuh adalah urusan Allah yang sengaja Allah jadikan sebagai misteri bagi manusia. Pengetahuan manusia tentang ruh hanya sebatas yg Allah beritahu, tak bisa dikaji secara empirik.
Sulit setidaknya bagi saya untuk mengaitkat makanat dengan bakat bahkan dengan Mesin Kecerdasan sekalipun jika Mesin Kecerdasan dipahami sebagai sesuatu yg given dan selalu bermuatan positif karena konsep makanat dalam Al-Qur`an tidak given alias pilihan dan nilainya tidak selamanya positif tapi bisa negatif.
Bukankah Syaakilah juga bisa menuju kepada negatif atau positif tergantung apakah pemilik Syakilah mendapat hidayah atau tidak? Sesuai dengan akhir ayat 84 di QS:17. Maka Rabbmu yang mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.
Mungkin penting juga dijelaskan bagaimana amal sholeh kita akan lebih optimal jika amal itu sesuai dengan Talent atau Mesin Kecerdasan.
*Syaakilah*_ sesuatu yg *given* dan merupakan *fitrah* dan muatannya selalu positif.
*Mesin Kecerdasan* beserta mekanismenya: Thingking, Sensing dsb , jika di pahami sebagai عقل /aql/ atau قلب /qalb/ (hati) termasuk *syaakilah*.
Adapun cara menggunakan *syaakilah* inilah yang disebut *akhlak* Nilai akhlak tidak selamanya positif. Ada akhlak yang buruk dan tercela (مذمومة /madzmoumah/).
Orang *intuiting* atau *ideation* memang bisa saja memproduksi sesuatu yg negatif (mudharat) bukan yang positif (maslahat) misalnya, menggagas (membuat mengajukan konsep) liberalisme dalam beragama. Namun itu bukan karena Mesin Kecerdasan Intuiting atau bakat ideation nya tapi karena nilai akhlak buruk (akhlak syaithaniy) yang berkembang pada dirinya.
Bakat yang selamanya bernilai positip yang merupakan potensi amal seseorang kudu dibingkai debgan akhlak yang positif pula agar menghasilkan manfaat yang positif.
Jika makanat bukan bakat, kira-kira padanan apa yang mendekati makna yang mendekati untuk makanat adalah positioning.
Pemahaman saya nih hubungan potensi dengan makanat. Ustadz rangking bakat yang paling tinggi 1 sd 7 akan dinamis sangat dipengaruhi oleh keadaan, tempat dan waktu?
Pada awalnya memang begitu Pak Rosyid… namun ketika *Syaakilah* sudah terasah menjadi *STRENGTH* maka syaakilah lah yang akan mewarnai keadaan, tempat dan waktu di sekitarnya. Makanya Allah anjurkan agar beramal sesuai syaakilah (keadaan diri) bukan sesuai keadaan lingkungan
Tentang Makanats Dalam Al-Qur’an
1. Surat 6, Al An’am ayat 135
قُلْ يَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَىٰ *مَكَانَتِكُم*ْ إِنِّي عَامِلٌ ۖ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ تَكُونُ لَهُ عَاقِبَةُ الدَّارِ ۗ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Katakanlah: “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.
2. Surat 11, Huud ayat 93
وَيَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَىٰ *مَكَانَتِكُمْ* إِنِّي عَامِلٌ ۖ سَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَمَنْ هُوَ كَاذِبٌ ۖ وَارْتَقِبُوا إِنِّي مَعَكُمْ رَقِيبٌ
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan), sesungguhnya akupun menunggu bersama kamu”.
3. Surat 12, Yusuf ayat 121-122
وَقُلْ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ اعْمَلُوا عَلَىٰ *مَكَانَتِكُم*ْ إِنَّا عَامِلُونَ
وَانْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak beriman: “Berbuatlah menurut kemampuanmu; sesungguhnya Kami-pun berbuat (pula)”. Dan tunggulah (akibat perbuatanmu); sesungguhnya kamipun menunggu (pula)”.
4. Surat 36, Yasin ayat 67
وَلَوْ نَشَاءُ لَمَسَخْنَاهُمْ عَلَىٰ *مَكَانَتِهِم*ْ فَمَا اسْتَطَاعُوا مُضِيًّا وَلَا يَرْجِعُونَ
Dan jikalau Kami menghendaki pastilah Kami ubah mereka di tempat mereka berada; maka mereka tidak sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) sanggup kembali.
5. Surat Az Zumar ayat 39-40
قُلْ يَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَىٰ مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ ۖ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُقِيمٌ
Katakanlah: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan Keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui, siapa yang akan mendapat siksa yang menghinakannya dan lagi ditimpa oleh azab yang kekal”.
Dari kelima ayat di atas tentang makanats pada (1), (2) dan (3) ayat diterjemahkan sebagai “kemampuan” kemudian pada (4) diterjemahkan sebagai “tempat” dan pada (5) diterjemahkan sebagai “keadaan”. Namun dari alur pembicaraan (سياق الكلام /siyaaq al kalam/) di kesemua ayat pada makanats terkandung makna aslinya yaitu “posisi”
Namun mungkin timbul pertanyaan apa hubungan “posisi” dengan “kemampuan” dan “keadaan”?
Jawabnya dapat berupa analogi sebagai berikut : Orang yang “posisinya di atas” maka “kemampuannya” akan lebih tinggi dan “keadaannya” akan lebih menguntungkan dari pada yang posisinya di bawah.
Jika diperhatikan kata makanats pada 4 ayat selain pada surat Yasin ayat 36, maka akan kita dapati penggunaannya adalah untuk menunjukkan posisi mukmin yang tinggi di sisi Allah versu posisi kafir yang dipandang rendah.
Jadi penggunaan kata makanats dalam Al Qur’an adalah sebagai term (istilah) yang dikonsepsikan sebagai keadaan atau posisi yang nilainya berubah (variable) atau tidak tetap namun akibatnya tetap (constant). Kaumnya setiap Nabi bisa memilih untuk mengambil posisi beriman atau kafir. Namun akibat posisi yang dipilih adalah konstan : yaitu jika beriman berakibat mulia jika kafir berakibat hina.
Nah, jika makanats di identikkan atau dikaitkan dengan Mesin Kecerdasan STIFIn maka akan timbul pertanyaan apakah di antara Mesin Kecerdasan dalam STIFIn ada yang berposisi tinggi atau baik dan ada yang berposisi rendah atau buruk? Kemudian, apakah Mesin Kecerdasan bagi setiap orang itu pilihan atau given (sudah dari sananya)?
Penjelasan Makanah oleh Ustadz Muhammad Ferous